Minggu, 23 Maret 2014

Makalah Antropologi Pendidikan ( Adat Istiadat Masyarakat Dayak Katingan )



MAKALAH
Antropologi Pendidikan
“Adat-istiadat Masyarakat Dayak Katingan”




Dosen : Drs.Timoteus Nusan

Di Susun Oleh :

  Aditya Tri Astuti          AFD 111 0157



UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PENDIDIKAN
2013

 
Kata Pengantar
Puji syukur mari kita panjatkan kepada Tuhan yang maha Esa karena berkat rahmat Beliaulah penyusun dapat menyelesaikan Makalah dengan judul “Adat-istiadat Masyarakat Dayak” ini tepat pada waktunya. Makalah ini dibuat untuk tujuan akademis dan menunjang perkuliahan serta disusun secara sistematis agar mempermudah mahasiswa dalam memahami materi yang disajikan didalamnya.
saya menyadari bahwa Makalah ini masih jauh dari sempurna, maka dengan segala kerendahan hati kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata saya mengucapkan Terimakasih kepada semua pihak dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kehidupan serta perkembangan ilmu pengetahuan serta mampu menjadi acuan dalam mata kuliah bersangkutan.
                                                                                   
Palangka Raya, 11 Oktober 2013

                                                                                                           
                                                                                                                        Penulis





i



DAFTAR ISI
Kata Pengantar ................................................................................................................... i
Daftar isi    ........................................................................................................................... ii
Pembahasan :                                                                                   
Bab I
( Pendahuluan )
A. Latar Belakang .............................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ......................................................................................................... 1
C. Tujuan Penelitian .......................................................................................................... 1
Bab II
( Pembahasan )

A.  Pengerian Masyarakat Dayak Kaharingan ............................................................... 2
B.  Adat-istiadat Masyarakat Dayak Kaharingan ........................................................... 3


Bab III
( Penutup )
A.           Kesimpulan................................................................................................................ 7
B.            Saran ........................................................................................................................... 7
Daftar Pustaka .................................................................................................................... 8



i


BAB I

PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG

Suku Dayak, sebagaimana suku bangsa lainnya, memiliki kebudayaan atau adat-istiadat tersendiri yang pula tidak sama secara tepat dengan suku bangsa lainnya di Indonesia. Adat-istiadat yang hidup di dalam masyarakat Dayak merupakan unsur terpenting, akar identitas bagi manusia Dayak. Kebudayaan dapat diartikan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik dari manusia dengan belajar (Garna, 1996).
Kebudayaan Dayak adalah seluruh sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia Dayak dalam rangka kehidupan masyarakat Dayak yang dijadikan milik manusia Dayak dengan belajar. Ini berarti bahwa kebudayaan dan adat-istiadat yang sudah berurat berakar dalam kehidupan masyarakat Dayak, kepemilikannya tidak melalui warisan biologis yang ada di dalam tubuh manusia Dayak, melainkan diperoleh melalui proses belajar yang diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi.

B.     RUMUSAN MASALAH

Adapun rumusan masalah yang dibahas dalam makalah ini antara lain :
1.   Apakah pengertian masyarakat Dayak kaharingan ?
2.   Sebutkan adat-istiadat Masyarakat Dayak Kaharingan ?

C.    TUJUAN

Adapun tujuan yang ingin dicapai antara lain :
1.      Dapat memahami tentang masyarakat Dayak Kaharingan.
2.      Mengetahui adat-istiadat masyarakat Dayak Kaharingan.


BAB II

PEMBAHASAN


A.      Pengertian masyarakat Dayak Kaharingan
Kaharingan adalah nama agama orang-orang Dayak di Kalimantan. Menurut orang Dayak, Kaharingan tidak dimulai sejak zaman tertentu. Kaharingan telah ada sejak awal penciptaan, sejak Ranying Hatalla Langit menciptakan alam semesta. Bagi mereka, Kaharingan telah ada beribu-ribu tahun sebelum datangnya agama Hindu, Budha, Islam dan Kristen. Datangnya agama-agama tersebut ke tengah orang Dayak Ngaju menyebabkan Kaharingan dipandang sebagai Agama Helo (agama lama), Agama Huran (agama kuno), atau Agama Tato-hiang (agama nenek-moyang).
Orang Dayak memang tidak mempunyai nama khusus yang terberikan (given) untuk menyebutkan sistem kepercayaan mereka. Ketika bertemu dengan orang-orang non-Dayak, mereka menyebut agama mereka sebagai Agama Dayak atau Agama Tempon. Hans Schärer dalam disertasi doktoralnya menggunakan istilah Agama Ngaju (Ngaju Religion) untuk menyebutkan sistem kepercayaan dan praktek keagamaan asli orang Dayak ini (buku asli 1946, 1963:12). Pandangan Schärer sangatlah kontras dengan pandangan umum pada waktu itu yang melihat orang Dayak sebagai orang yang “tanpa agama,” “kafir” atau “heiden”.
Nama Kaharingan mulai dipakai ketika pemerintah Jepang memanggil dua orang Dayak Ngaju yang bernama Damang Yohanes Salilah dan W.A. Samat, untuk mengetahui kejelasan nama dari agama suku Dayak Kalimantan, yang pada waktu itu disebut sebagai “Agama Heiden”, “Agama Kafir” dan “Agama Helo”. Salilah menjelaskan bahwa nama agama orang Dayak adalah Kaharingan yang artinya “kehidupan yang abadi dari Ranying Mahatala Langit”.
B.       Adat-istiadat Masyarakat Dayak Kaharingan.

1.        Tiwah, Mengantar Arwah Keperistirahatan Terakhir

Upacara ini mencerminkan sikap hormat mereka, kepada anggota keluarga yang telah mendahului mereka. Rangkap I Nau adalah Ketua Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan, yang juga Ketua Panitia Tiwah Massal di Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Di dalam upacara ini, Rangkap I Nau meniwahkan ayahnya yang meninggal tahun 1999.
Dalam keyakinan Agama Kaharingan, Tuhan Yang Maha Kuasa adalah awal dari segala yang ada. Termasuk hidup dan kehidupan. Di dalam kitab suci mereka disebutkan, manusia pada akhirnya akan kembali kepada sang pencipta yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa.
Proses menuju kesana, seperti ayah Rangkap I Nau adalah melalui upacara Tiwah. Tiwah artinya pensucian, pembebasan, pelepasan atau penyempurnaan. Pada hakekatnya, dalam hidupnya, manusia berbuat dosa, karena itu ada sial. Siapapun yang meninggal, maka keluarganya akan tertimpa sial. Sial ini harus dihapuskan. Maka dilaksanakanlah upacara ritual Tiwah. Dengan demikian, tidak ada lagi sial pada mereka yang hidup.
Dalam proses ini, bagian inti dari upacara ritual Tiwah, adalah pengangkatan tulang jenazah ayah Rangkap I Nau. Dengan upacara ritual seperti pembacaan mantra-matra dari kitab suci oleh ulama, makam ayah Rangkap I Nau dibongkar. Setelah itu tulang belulang ayah Rangkap I Nau pun diangkat dan dibersihkan. Selanjutnya tulang belulang disimpan untuk sementara didalam kotak, selama dua sampai tiga hari. Selain tulang belulang ayah Rangkap I Nau yang baru berumur 4 tahun, ada pula kerangka yang telah berusia 25 tahun. Kerangka ini belum di Tiwah, karena ketiadaan biaya. Biasanya tulang yang sudah berumur diatas 4 tahun sudah bersih. Namun ada pula pengecualian.
Dalam upacara Tiwah, hewan seperti kerbau, sapi dan babi, menjadi syarat untuk dikorbankan. Untuk itu, dibuatlah patung-patung kayu sebagai tempat pengikat hewan-hewan tersebut, sebelum ditombak sebagai korban. Patung-patung tersebut dibuat dari kayu yang kuat yaitu kayu ulin. Hanya pematung hebat yang pahatan dan ukirannya bagus yang terpilih untuk membuat patung-patung tersebut.
Setelah selesai, patung-patung tersebut ditaman disamping sadung. Dalamnya lubang bisa mencapai 1 hingga 1,5 meter, mengingat besarnya hewan korban yang diikatkan ke patung. Sebelum menanam patung-patung tersebut ke dalam tanah, ditaruhlah berbagai macam sesajen oleh ulama. Diantaranya beras, telur, sirih, pinang dan rokok. Maksudnya, untuk menunjukkan bahwa tanah itu adalah tempat manusia hidup. Selain itu, juga untuk menunjukkan bahwa patung-patung tersebut didirikan dengan tulus ikhlas.
Dalam upacara apapun, masyarakat Dayak Kaharingan senantiasa menggunakan beras yang mereka taburkan. Beras diyakini sebagai alat komunikasi antara manusia dengan Tuhan dan para penciptanya di alam sana. Pada hari yang telah ditentukan, tibalah saatnya bagi hewan-hewan korban tersebut untuk di tombak. Mereka yang menombak pun ada aturannya, yaitu hanya anggota keluarga yang melakukan Tiwah. Bagi ayah Rangkap I Nau yang melakukan penombakan adalah saudara sepupunya. Rangkap sendiri tidak boleh ikut menombak. Namun dia harus membuktikan bahwa dia telah melakukan tanggung jawab moralnya sebagai anak, yaitu melaksanakan Tiwah bagi ayahnya.
Selama upacara Tiwah berlangsung, ulama atau dalam bahasa Agama Kaharingan disebut Basir, memainkan peran central. Puncak acara misalnya, adalah pembacaan mantra-mantra oleh Basir. Bukan sembarang Basir, melainkan Basir Utama yaitu yang paling tua, paling pintar dan paling dipercaya. Seraya duduk diatas sebuah gong, sang Basir membacakan nama-nama seluruh almarhum yang akan di Tiwah massal, jumlahnya 211. Karenanya pembacaan mantra tersebut berlangsung semalam suntuk.
Selain itu, sang Basir juga menceritakan proses awal kehidupan manusia. Mengakhiri rangkaian upacara ritual yang telah berlangsung lebih dari satu bulan, seluruh keluarga berkumpul di desa tempat asal almarhum. Tiga jam perjalanan mobil dari Palangkaraya. Disana mereka akan memasukan tulang arlmarhum kedalam sandung.
 
Menurut Rangkap, tulang belulang ayahnya harus diperlakukan dengan rasa hormat dan cinta kasih, serta tidak boleh sembarangan. Dengan masukan tulang belulang tersebut, roh ayahnya dipercaya telah diantar ke surga dan menyatu dengan Tuhan. Proses memasukan tulang kedalam sandung pun ditingkahi dengan berbagai ritual yang syarat dengan makna. Luapan emosi tak tertahankan.
Dengan masuknya tulang kedalam sandung, maka almarhum ayah Rangkap I Nau telah memperoleh tempat peristirahatannya yang terakhir. Usai sudah upacara Tiwah. Seluruh keluarga merasa lega, bangga dan bahagia. Segala perasaan bercampur aduk menjadi satu. Perasaan ini tidak bisa diukur dengan uang. Namun hanya bisa diukur dengan kebesaran nama Tuhan. Akhirnya Rangkap berharap, suatu saat kelak anak-anaknya pun bisa melakukan hal yang sama, yaitu meniwahkan dia.





BAB II

PENUTUP

A.    KESIMPULAN

Kaharingan adalah nama agama orang-orang Dayak di Kalimantan. Menurut orang Dayak, Kaharingan tidak dimulai sejak zaman tertentu. Kaharingan telah ada sejak awal penciptaan, sejak Ranying Hatalla Langit menciptakan alam semesta.
Nama Kaharingan mulai dipakai ketika pemerintah Jepang memanggil dua orang Dayak Ngaju yang bernama Damang Yohanes Salilah dan W.A. Samat, untuk mengetahui kejelasan nama dari agama suku Dayak Kalimantan, yang pada waktu itu disebut sebagai “Agama Heiden”, “Agama Kafir” dan “Agama Helo”. Salilah menjelaskan bahwa nama agama orang Dayak adalah Kaharingan yang artinya “kehidupan yang abadi dari Ranying Mahatala Langit”.
Adat-istiadat Masyarakat Dayak Kaharingan, seperti Tiwah, Mengantar Arwah Keperistirahatan Terakhir. Upacara ini mencerminkan sikap hormat mereka, kepada anggota keluarga yang telah mendahului mereka. Rangkap I Nau adalah Ketua Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan, yang juga Ketua Panitia Tiwah Massal di Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Di dalam upacara ini, Rangkap I Nau meniwahkan ayahnya yang meninggal tahun 1999.

B.     SARAN

Untuk mempertahankan keberadaan suku dayak, masyarakat harus saling menjaga keberadaan suku dayak itu sendiri khususnya masyarakat Kalimantan sendiri.


DAFTAR PUSTAKA


Alqadrie, Syarif. I. 1987. Cultural Differences and Social Life Among Three Ethnic Groups in West Kalimantan Case, Tesis M.Sc, Lexington, Kentucky: College of Agriculture, Agricultural and Rural Sociologi, University of Kentucky.
----------------------. 1990. Ethnicity and Social Change in Dyaknese Society of West Kalimantan, Indonesia, Disertasi Ph.D, Lexington, Ky: Departement of Sociology, Universitu of Kentucky.
Arman, Syamsuni. 1994. Analisa Budaya Dayak, Dalam Paulus Florus (Ed), Kebudayaan Dayak: Aktualisasi Dan Transformasi, Jakarta: Grashindo Utama.
Coomans, Mikhail. 1987. Manusia Dayak: Dahulu, Sekarang, dan Masa Depan, Jakarta: Gramedia.
Muslim, Irine. A dan Layang, S. Yakobus E. Frans. 1994. Makna dan Kekuatan Simbol Adat Pada Masyarakat Dayak di Kalimantan Barat di Tinjau dari Pengelompokan Budaya, Dalam Paulus Florus (Ed), Kebudayaan Dayak: Aktualisasi Dan Transformasi, Jakarta: Grashindo Utama.









 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar