MAKALAH
Antropologi
Pendidikan
“Adat-istiadat Masyarakat
Dayak Katingan”
Dosen : Drs.Timoteus Nusan
Di Susun Oleh :
Aditya Tri Astuti AFD 111 0157
UNIVERSITAS
PALANGKA RAYA
FAKULTAS KEGURUAN
DAN ILMU PENDIDIKAN
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PENDIDIKAN
2013
Kata Pengantar
Puji syukur mari kita panjatkan
kepada Tuhan yang maha Esa karena berkat rahmat Beliaulah penyusun dapat
menyelesaikan Makalah dengan judul “Adat-istiadat Masyarakat Dayak” ini tepat
pada waktunya. Makalah ini dibuat untuk tujuan akademis dan menunjang
perkuliahan serta disusun secara sistematis agar mempermudah mahasiswa dalam
memahami materi yang disajikan didalamnya.
saya menyadari bahwa Makalah ini
masih jauh dari sempurna, maka dengan segala kerendahan hati kami sangat
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata saya mengucapkan
Terimakasih kepada semua pihak dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
kehidupan serta perkembangan ilmu pengetahuan serta mampu menjadi acuan dalam
mata kuliah bersangkutan.
Palangka Raya, 11 Oktober 2013
Penulis
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ................................................................................................................... i
Daftar
isi ........................................................................................................................... ii
Pembahasan
:
Bab
I
( Pendahuluan )
A. Latar Belakang .............................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ......................................................................................................... 1
C. Tujuan Penelitian .......................................................................................................... 1
Bab II
(
Pembahasan )
A. Pengerian
Masyarakat Dayak Kaharingan ............................................................... 2
B. Adat-istiadat Masyarakat Dayak Kaharingan ........................................................... 3
Bab III
( Penutup )
A.
Kesimpulan................................................................................................................ 7
B.
Saran ........................................................................................................................... 7
Daftar Pustaka .................................................................................................................... 8
i
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Suku Dayak, sebagaimana suku bangsa
lainnya, memiliki kebudayaan atau adat-istiadat tersendiri yang pula tidak sama
secara tepat dengan suku bangsa lainnya di Indonesia. Adat-istiadat yang hidup
di dalam masyarakat Dayak merupakan unsur terpenting, akar identitas bagi
manusia Dayak. Kebudayaan dapat diartikan sebagai keseluruhan sistem gagasan,
tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang
dijadikan milik dari manusia dengan belajar (Garna, 1996).
Kebudayaan Dayak adalah seluruh sistem
gagasan, tindakan dan hasil karya manusia Dayak dalam rangka kehidupan
masyarakat Dayak yang dijadikan milik manusia Dayak dengan belajar. Ini berarti
bahwa kebudayaan dan adat-istiadat yang sudah berurat berakar dalam kehidupan
masyarakat Dayak, kepemilikannya tidak melalui warisan biologis yang ada di
dalam tubuh manusia Dayak, melainkan diperoleh melalui proses belajar yang
diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi.
B. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah yang dibahas
dalam makalah ini antara lain :
1.
Apakah pengertian masyarakat Dayak kaharingan ?
2.
Sebutkan adat-istiadat Masyarakat Dayak Kaharingan ?
C. TUJUAN
Adapun tujuan
yang ingin dicapai antara lain :
1.
Dapat
memahami tentang masyarakat Dayak Kaharingan.
2.
Mengetahui
adat-istiadat masyarakat Dayak Kaharingan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian masyarakat Dayak Kaharingan
Kaharingan
adalah nama agama orang-orang Dayak di Kalimantan. Menurut orang Dayak,
Kaharingan tidak dimulai sejak zaman tertentu. Kaharingan telah ada sejak awal
penciptaan, sejak Ranying Hatalla Langit menciptakan alam semesta. Bagi mereka,
Kaharingan telah ada beribu-ribu tahun sebelum datangnya agama Hindu, Budha,
Islam dan Kristen. Datangnya agama-agama tersebut ke tengah orang Dayak Ngaju
menyebabkan Kaharingan dipandang sebagai Agama Helo (agama lama), Agama
Huran (agama kuno), atau Agama Tato-hiang (agama nenek-moyang).
Orang Dayak
memang tidak mempunyai nama khusus yang terberikan (given) untuk menyebutkan
sistem kepercayaan mereka. Ketika bertemu dengan orang-orang non-Dayak, mereka
menyebut agama mereka sebagai Agama Dayak atau Agama Tempon. Hans Schärer dalam
disertasi doktoralnya menggunakan istilah Agama Ngaju (Ngaju Religion) untuk
menyebutkan sistem kepercayaan dan praktek keagamaan asli orang Dayak ini (buku
asli 1946, 1963:12). Pandangan Schärer sangatlah kontras dengan pandangan umum
pada waktu itu yang melihat orang Dayak sebagai orang yang “tanpa agama,”
“kafir” atau “heiden”.
Nama Kaharingan mulai dipakai ketika
pemerintah Jepang memanggil dua orang Dayak Ngaju yang bernama Damang Yohanes
Salilah dan W.A. Samat, untuk mengetahui kejelasan nama dari agama suku Dayak
Kalimantan, yang pada waktu itu disebut sebagai “Agama Heiden”, “Agama
Kafir” dan “Agama Helo”. Salilah menjelaskan bahwa nama agama orang
Dayak adalah Kaharingan yang artinya “kehidupan yang abadi dari Ranying
Mahatala Langit”.
B.
Adat-istiadat Masyarakat Dayak Kaharingan.
1. Tiwah, Mengantar Arwah Keperistirahatan Terakhir
Upacara ini
mencerminkan sikap hormat mereka, kepada anggota keluarga yang telah mendahului
mereka. Rangkap I Nau adalah Ketua Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan, yang
juga Ketua Panitia Tiwah Massal di Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Di dalam
upacara ini, Rangkap I Nau meniwahkan ayahnya yang meninggal tahun 1999.
Dalam
keyakinan Agama Kaharingan, Tuhan Yang Maha Kuasa adalah awal dari segala yang
ada. Termasuk hidup dan kehidupan. Di dalam kitab suci mereka disebutkan,
manusia pada akhirnya akan kembali kepada sang pencipta yaitu Tuhan Yang Maha
Kuasa.
Proses
menuju kesana, seperti ayah Rangkap I Nau adalah melalui upacara Tiwah. Tiwah
artinya pensucian, pembebasan, pelepasan atau penyempurnaan. Pada hakekatnya,
dalam hidupnya, manusia berbuat dosa, karena itu ada sial. Siapapun yang
meninggal, maka keluarganya akan tertimpa sial. Sial ini harus dihapuskan. Maka
dilaksanakanlah upacara ritual Tiwah. Dengan demikian, tidak ada lagi sial pada
mereka yang hidup.
Dalam
proses ini, bagian inti dari upacara ritual Tiwah, adalah pengangkatan tulang
jenazah ayah Rangkap I Nau. Dengan upacara ritual seperti pembacaan
mantra-matra dari kitab suci oleh ulama, makam ayah Rangkap I Nau dibongkar.
Setelah itu tulang belulang ayah Rangkap I Nau pun diangkat dan dibersihkan. Selanjutnya
tulang belulang disimpan untuk sementara didalam kotak, selama dua sampai tiga
hari. Selain tulang belulang ayah Rangkap I Nau yang baru berumur 4 tahun, ada
pula kerangka yang telah berusia 25 tahun. Kerangka ini belum di Tiwah, karena
ketiadaan biaya. Biasanya tulang yang sudah berumur diatas 4 tahun sudah
bersih. Namun ada pula pengecualian.
Dalam
upacara Tiwah, hewan seperti kerbau, sapi dan babi, menjadi syarat untuk
dikorbankan. Untuk itu, dibuatlah patung-patung kayu sebagai tempat pengikat
hewan-hewan tersebut, sebelum ditombak sebagai korban. Patung-patung tersebut
dibuat dari kayu yang kuat yaitu kayu ulin. Hanya pematung hebat yang pahatan
dan ukirannya bagus yang terpilih untuk membuat patung-patung tersebut.
Setelah
selesai, patung-patung tersebut ditaman disamping sadung. Dalamnya lubang bisa
mencapai 1 hingga 1,5 meter, mengingat besarnya hewan korban yang diikatkan ke
patung. Sebelum menanam patung-patung tersebut ke dalam tanah, ditaruhlah
berbagai macam sesajen oleh ulama. Diantaranya beras, telur, sirih, pinang dan
rokok. Maksudnya, untuk menunjukkan bahwa tanah itu adalah tempat manusia
hidup. Selain itu, juga untuk menunjukkan bahwa patung-patung tersebut
didirikan dengan tulus ikhlas.
Dalam
upacara apapun, masyarakat Dayak Kaharingan senantiasa menggunakan beras yang
mereka taburkan. Beras diyakini sebagai alat komunikasi antara manusia dengan
Tuhan dan para penciptanya di alam sana. Pada hari yang telah ditentukan,
tibalah saatnya bagi hewan-hewan korban tersebut untuk di tombak. Mereka yang
menombak pun ada aturannya, yaitu hanya anggota keluarga yang melakukan Tiwah.
Bagi ayah Rangkap I Nau yang melakukan penombakan adalah saudara sepupunya.
Rangkap sendiri tidak boleh ikut menombak. Namun dia harus membuktikan bahwa
dia telah melakukan tanggung jawab moralnya sebagai anak, yaitu melaksanakan
Tiwah bagi ayahnya.
Selama
upacara Tiwah berlangsung, ulama atau dalam bahasa Agama Kaharingan disebut
Basir, memainkan peran central. Puncak acara misalnya, adalah pembacaan
mantra-mantra oleh Basir. Bukan sembarang Basir, melainkan Basir Utama yaitu
yang paling tua, paling pintar dan paling dipercaya. Seraya duduk diatas sebuah
gong, sang Basir membacakan nama-nama seluruh almarhum yang akan di Tiwah
massal, jumlahnya 211. Karenanya pembacaan mantra tersebut berlangsung semalam
suntuk.
Selain
itu, sang Basir juga menceritakan proses awal kehidupan manusia. Mengakhiri
rangkaian upacara ritual yang telah berlangsung lebih dari satu bulan, seluruh
keluarga berkumpul di desa tempat asal almarhum. Tiga jam perjalanan mobil dari
Palangkaraya. Disana mereka akan memasukan tulang arlmarhum kedalam sandung.
Menurut Rangkap, tulang
belulang ayahnya harus diperlakukan dengan rasa hormat dan cinta kasih, serta
tidak boleh sembarangan. Dengan masukan tulang belulang tersebut, roh ayahnya
dipercaya telah diantar ke surga dan menyatu dengan Tuhan. Proses memasukan
tulang kedalam sandung pun ditingkahi dengan berbagai ritual yang syarat dengan
makna. Luapan emosi tak tertahankan.
Dengan masuknya tulang
kedalam sandung, maka almarhum ayah Rangkap I Nau telah memperoleh tempat
peristirahatannya yang terakhir. Usai sudah upacara Tiwah. Seluruh keluarga
merasa lega, bangga dan bahagia. Segala perasaan bercampur aduk menjadi satu.
Perasaan ini tidak bisa diukur dengan uang. Namun hanya bisa diukur dengan
kebesaran nama Tuhan. Akhirnya Rangkap berharap, suatu saat kelak anak-anaknya
pun bisa melakukan hal yang sama, yaitu meniwahkan dia.
BAB II
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kaharingan
adalah nama agama orang-orang Dayak di Kalimantan. Menurut orang Dayak,
Kaharingan tidak dimulai sejak zaman tertentu. Kaharingan telah ada sejak awal
penciptaan, sejak Ranying Hatalla Langit menciptakan alam semesta.
Nama Kaharingan mulai dipakai ketika
pemerintah Jepang memanggil dua orang Dayak Ngaju yang bernama Damang Yohanes
Salilah dan W.A. Samat, untuk mengetahui kejelasan nama dari agama suku Dayak
Kalimantan, yang pada waktu itu disebut sebagai “Agama Heiden”, “Agama
Kafir” dan “Agama Helo”. Salilah menjelaskan bahwa nama agama orang
Dayak adalah Kaharingan yang artinya “kehidupan yang abadi dari Ranying
Mahatala Langit”.
Adat-istiadat Masyarakat Dayak Kaharingan, seperti Tiwah, Mengantar
Arwah Keperistirahatan Terakhir. Upacara ini mencerminkan sikap hormat
mereka, kepada anggota keluarga yang telah mendahului mereka. Rangkap I Nau
adalah Ketua Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan, yang juga Ketua Panitia
Tiwah Massal di Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Di dalam upacara ini, Rangkap
I Nau meniwahkan ayahnya yang meninggal tahun 1999.
B. SARAN
Untuk mempertahankan keberadaan suku
dayak, masyarakat harus saling menjaga keberadaan suku dayak itu sendiri
khususnya masyarakat Kalimantan sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Alqadrie,
Syarif. I. 1987. Cultural Differences and
Social Life Among Three Ethnic Groups in West Kalimantan Case, Tesis M.Sc,
Lexington, Kentucky: College of Agriculture, Agricultural and Rural Sociologi, University
of Kentucky.
----------------------.
1990. Ethnicity and Social Change in
Dyaknese Society of West Kalimantan, Indonesia, Disertasi Ph.D, Lexington,
Ky: Departement of Sociology, Universitu of Kentucky.
Arman,
Syamsuni. 1994. Analisa Budaya Dayak,
Dalam Paulus Florus (Ed), Kebudayaan Dayak: Aktualisasi Dan Transformasi, Jakarta:
Grashindo Utama.
Coomans,
Mikhail. 1987. Manusia Dayak: Dahulu,
Sekarang, dan Masa Depan, Jakarta: Gramedia.
Muslim,
Irine. A dan Layang, S. Yakobus E. Frans. 1994. Makna dan Kekuatan Simbol Adat Pada Masyarakat Dayak di Kalimantan
Barat di Tinjau dari Pengelompokan Budaya, Dalam Paulus Florus (Ed),
Kebudayaan Dayak: Aktualisasi Dan Transformasi, Jakarta: Grashindo Utama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar